Review Jurnal Filsafat

 


Judul : Filsafat ( Sistem ) Pemasyarakatan

Volume : No, 1, Vol.7, 134-150.

Tahun : 2010

Penulis : Iqraq Sulhin

Reviewer : Herman Johanes Manurung

Latar Belakang

Materi ini pun disusun karena adanya perdebatan tentang apa sebenarnya yang menjadi filsafat (Sistem) Pemasyarakatan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Reintegrasi Sosial, sebagaimana yang selama ini dipahami sebagai filsafat Sistem Pemasyarakatan, adalah bukan filsafat, namun sebuah teori atau alasan sosiologis yang mendasari pelaksanaan pidana. Apakah benar demikian? Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, dalam konteks pengertian teori dan filsafat. Antara teori dan filsafat pada aspek tertentu secara terminologis memiliki kedekatan, meski dalam banyak hal berbeda. Bila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2008, teori adalah (1) pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi, (2) penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi (3) asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan (4) pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu. Sementara filsafat, masih menurut KBBI, adalah (1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakekat segala sesuatu yang ada, sebab, asal, dan hukumnya (2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan (3) ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi (4) falsafah. Kedekatan antara keduanya terlihat pada aspek ‘kegunaan’, di mana teori adalah pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu, sementara filsafat adalah teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan. Keduanya sama-sama bermanfaat untuk mendasari sesuatu, apakah fikiran atau tindakan. Definisi KBBI tersebut juga menegaskan bahwa filsafat juga merupakan falsafah. Namun demikian, keduanya juga berbeda, di mana filsafat berada pada ranah yang lebih ontologis (pada level hakekat) dalam memahami sesuatu. Sementara teori lebih dekat dengan epistemologis karena didasarkan penelitian untuk menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, dan argumentasi. Ranah filsafat yang lebih berada pada level hakekat menjadikannya berada pada struktur teratas argumentasi atas sesuatu. Filsafat tertentu dapat mendasari munculnya teori tertentu. Pertanyaannya kemudian, apakah Reintegrasi Sosial adalah filsafat (Sistem) Pemasyarakatan? Untuk menjawabnya, tulisan ini mencoba memberikan argumentasi dengan menelusuri perkembangan historis Pemasyarakatan, serta perkembangan pemikiran tentang penghukuman itu sendiri. Pendekatan historis yang dimaksud dalam hal ini adalah dengan menelusuri alur pemikiran di sekitar kemunculan Pemasyarakatan pada April 1964. Sumber data dan informasi adalah dari penelusuran literatur. Pendekatan yuridis formil tidak terlalu ditekankan dalam argumentasi ini karena secara ontologis pendekatan ini melihat “dunia sebagai statis atau tidak bergerak”. Mengapa demikian? Hal ini karena dasar argumen adalah telah atau belum diaturnya sesuatu. Tentang Reintegrasi sosial pada dasarnya sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, sehingga bila pendekatan yuridis formil digunakan, perdebatan akan berhenti atau selesai.

Core business dan Administrasi (sistem) Koreksi

Sebelum masuk lebih jauh dalam argumentasi tentang filsafat (sistem) Pemasyarakatan, perlu dipahami bahwa core business dari sistem koreksi (correctional system) adalah perlakuan terhadap tahanan dan narapidana. Core business ini dapat disebut sebagai tugas utama (sistem) koreksi, yang tentu saja berbeda dengan administrasi koreksi (correctional administration). Penjelasan tentang core business (sistem) Pemasyarakatan tersebut adalah titik tolak dalam memahami apa yang menjadi filsafat-nya. Dari beberapa uraian sebelumnya, terlepas dari kuatnya keinginan untuk menegaskan pula aspek-aspek administratif dari sistem koreksi dalam Rancangan Undang-Undang (sistem) Pemasyarakatan ke depan, perlu ditegaskan posisi bahwa tugas utama (sistem) Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap tahanan dan narapidana, serta klien dalam terminologiterminologi pembinaan, perawatan, dan pembimbingan, di dalam kerangka hak asasi manusia. Sehingga ‘apa’ yang kemudian menjadi filsafat (sistem) Pemasyarakatan akan berangkat dari tugas utama ini. Alasannya adalah, bila kembali pada definisi tentang filsafat yang diuraikan pada bagian awal materi masukan ini jelas ditegaskan bahwa fisafat adalah pedoman bagi pikiran dan tindakan (termasuk kebijakan dalam arti luas). Bahwa tugas utama (sistem) Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap tahanan, narapidana (dan klien), maka filsafat yang mendasarinya adalah filsafat yang mendasari munculnya teori dan praktek tentang sistem perlakuan tahanan dan narapidana (the treatment of offender). Namun demikian, tugas utama sistem koreksi berupa perlakuan terhadap pelanggar hukum sangat perlu didukung oleh administrasi koreksi (correctional administration). Oleh karenanya, adalah hal yang tidak salah bila di dalam Rancangan Undang-Undang (sistem) Pemasyarakatan ke depan, turut pula ditegaskan tentang aspek administratif dari (sistem) Pemasyarakatan, seperti manajemen organisasi, sumber daya manusia, penganggaran, pengawasan, dan banyak lainnya. Dengan menggunakan kerangka ini, secara sederhana berarti bahwa administrasi (sistem) Pemasyarakatan mengacu pada aspek organisasi dan manajemen yang memfasilitasi proses perlakuan (treatment) kepada tahanan, narapidana dan klien. Dalam hal ini, aspek administrasi adalah pendukung core business (sistem) Pemasyarakatan. Format dan proses administrasi yang akan dibentuk idealnya mampu memfasilitasi dengan baik proses pembinaan, perawatan, dan pembimbingan.

Filsafat Sistem Pemasyarakatan

Pada bagian sebelumnya, diuraikan bahwa rumusan tentang filsafat (sistem) Pemasyarakatan bertitik tolak pada core business, yaitu perlakuan terhadap tahanan, narapidana, dan klien dalam terminologi pembinaan, perawatan, dan pembimbingan. Bahwa tugas utama (sistem) Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap pelanggar hukum, maka filsafat yang mendasarinya adalah filsafat yang mendasari munculnya teori dan praktek tentang perlakuan tersebut.  Mengapa disebut filsafat pemidanaan (penghukuman), meski dalam beberapa literatur, seperti Snarr (1996), menyebutnya dengan filsafat koreksi (philosophies of Corrections)? Adalah karena tidak dapat dipungkiri, (sistem) Pemasyarakatan, melalui Lembaga Pemasyarakatan, adalah pelaksana pidana. Meskipun Snarr dalam hal ini menegaskan bahwa koreksi (correction) bukan hanya sekedar istilah yang lebih halus bagi penghukuman. Penjelasan tentang filosofi (sistem) Pemasyarakatan dalam dokumen Cetak Biru tersebut dapat diartikan lebih jauh sebagai berikut. Pertama, secara ontologis (pada level pemahaman hakekat), kejahatan terjadi bukan karena kehendak bebas dari pelaku, sehingga atas perbuatannya itu pantas diberikan pidana atau hukuman. Namun karena adanya faktor-faktor yang bersifat sosial, yang membuat seseorang tidak mampu beradaptasi sehingga pada akhirnya memilih melakukan kejahatan. Kedua, oleh karenanya, bila kejahatan terjadi, tindakan menghukum dengan prinsip pembalasan dan membuat derita dianggap tidak tepat. Tindakan menghukum lebih diarahkan untuk memulihkan kehidupan pelaku kejahatan dan mempersiapkan dirinya kembali kepada masyarakat. Inilah mengapa kejahatan disebut dengan konflik, karena adanya ketidak sesuaian antara ekspektasi masyarakat dengan pilihan adaptasi pelaku. Inilah mengapa dalam proses pembinaan, (sistem) Pemasyarakatan, melalui Lembaga Pemasyarakatan, memberikan pendidikan, pelatihan kerja produksi dan keterampilan lainnya sebagai upaya peningkatan kapasitas narapidana ketika kembali ke masyarakat dan tidak melakukan kembali kejahatan. Munculnya Pemasyarakatan sebagai filosofi penghukuman ini secara formal telah memperlihatkan komitmen Indonesia pada tatanan konseptual dalam menyelenggarakan pemidanaan yang manusiawi serta melindungi Hak Asasi Manusia. Tentu saja ini menjadi peluang besar bagi realisasi hakhak narapidana sesuai dengan standar yang telah ada, maupun peluang bagi pembaruan sistem dan instrumentasi, seperti formalisasi pedoman perlakuan dan pemenuhan hak-hak spesifik yang belum diatur sebelumnya. Contoh untuk hal ini adalah formalisasi pedoman perlakuan dan pemenuhan hakhak spesifik anak, perempuan, atau kelompok rentan lainnya. Konsep Pemasyarakatan dengan tugas pokok melindungi HAM menegaskan dukungan internal dan eksternal dalam upaya peningkatan kapasitas Pemasyarakatan serta petugas-petugas fungsionalnya.

Cukupkah Reintegrasi

Filsafat dan teori penghukuman yang berangkat dari utilitarianisme melihat manusia sebagai individu yang rasional dan selalu memiliki tendensi untuk mencari manfaat atau kesenangan. Keberadaan hukuman, dalam filsafat penjeraan, adalah upaya menahan manusia untuk memilih penderitaan. Prinsip utiliti dari hukuman terletak pada kemampuannya menciptakan rasa jera dalam diri pelaku untuk melakukan kejahatan kembali di masa depan, dan rasa takut di masyarakat untuk melakukan kejahatan serupa. Dalam rehabilitasi, prinsip utiliti dicapai dengan melakukan “modifikasi” pada diri pelaku kejahatan melalui programprogram intervensi. Demikian pula dengan reintegrasi, manfaat yang diberikan hukuman kepada pelaku kejahatan, selain “modifikasi” juga menjalinkan kembali hubungan yang terputus antara dirinya dengan masyarakat. Pertanyaannya kemudian, cukupkah reintegrasi? Snarr (1996: 66-68) menjelaskan, pemidanaan dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu incarceration sentences (pemidanaan dengan penahanan) dan nonincarceration sentences (pemidanaan yang tidak menggunakan penahanan). Snar membedakan dua bentuk incarceration sentences. Pertama, split sentences dan shock incarceration, yaitu pemidanaan yang mengharuskan terpidana ditahan dalam fasilitas milik negara (seperti penjara) untuk periode waktu tertentu, yang kemudian diikuti oleh hukuman bersyarat (probation). Kedua, incarceration, yaitu pemidanaan dalam penjara. Sementara beberapa bentuk nonincarceration sentences adalah; denda, kerja sosial, restitusi (penggantian kerugian korban), hukuman bersyarat (probation), dan bentuk-bentuk community based sentences. Penjelasan Snarr (1996) tersebut menegaskan beberapa hal. Pertama, pada aspek filosofis (teoritis), mashab reintegrasi pada dasarnya menegaskan perlunya upaya-upaya yang non pemidanaan dan non pemenjaraan. Snarr bahkan menjelaskan bahwa model-model alternatif dalam pemidanaan adalah bagian dari model reintegratif dari penghukuman. Kedua, efektifitas pemidanaan dalam pandangan ini justru terletak dalam hal sejauh mana program-program pembinaan tersebut dilakukan berbasis di masyarakat atau tidak. Pembinaan dalam isolasi cenderung tidak efektif. Ketiga, keterlibatan masyarakat dalam proses pembinaan adalah hal yang penting, khususnya dalam bentuk penerimaan terhadap terpidana yang ingin kembali ke masyarakat. Persoalannya, pelaksanaan penghukuman utilitarian umumnya dilakukan melalui institusionalisasi. Pemenjaraan adalah bentuk penghukuman utilitarian yang paling umum dikenal di dunia. Demikian pula dalam sistem hukum di Indonesia yang hampir sebagian besar ancaman. Sistem Pemasyarakatan Indonesia yang menganut filosofi reintegratif pada dasarnya sangat adaptif terhadap koreksi yang berbasis di masyarakat. Pemasyarakatan memandang bahwa pembinaan tidak hanya dilakukan di dalam lembaga, namun memerlukan fase tertentu di mana narapidana berinteraksi dengan masyarakat hingga diintegrasikan kembali, meskipun masih dalam masa pidana. Interaksi dan reintegrasi adalah upaya yang dilakukan untuk memperbesar kemauan masyarakat untuk menerima kembali narapidana dan meminimalisir stigma, sehingga ketika bebas, mantan narapidana diharapkan dapat hidup kembali secara normal sebagai anggota masyarakat. Bila melihat lebih jauh pada filsafat reintegratif yang menekankan pemulihan hubungan terpidana dengan masyarakat, penghukuman pada dasarnya dapat dilakukan di luar pemenjaraan. Terkait dengan hakekat reintegrasi itu sendiri yang berupaya memulihkan konflik, maka penghukuman seharusnya dapat dilakukan di luar lembaga pemenjaraan (alternatif terhadap pemenjaraan), dengan mengembalikan pelaku kejahatan kepada masyarakat tanpa proses peradilan pidana (alternatif terhadap pemidanaan). United Nation Office on Drugs and Crime/UNODC (2007) menjelaskan adanya sejumlah alasan yang melatarbelakangi munculnya pemikiran ke arah koreksi berbasis masyarakat, yaitu; kontraproduktifnya pemenjaraan terhadap pelaku kejahatan yang sangat ringan serta bila yang melakukan adalah kelompok rentan; deprivasi yang dialami oleh terpidana; hingga mahalnya biaya pemenjaraan. Kesimpulan ini tentu saja berdasarkan realitas empiris di banyak penjara di dunia yang menghadapi masalah-masalah tersebut, termasuk di Indonesia.

Kesimpulan

pelaksanaan reintegrasi tidak hanya terbatas dalam kerangka pemenjaraan karena filsafat reintegrasi mendorong pelaksanaan koreksi yang berbasis di masyarakat. Oleh karenanya, filsafat (sistem) Pemasyarakatan pada dasarnya sangat adaptif terhadap ide-ide pengalihan (diversi) dan keadilan restoratif, sebagai alternatif dalam penyelesaian konflik hukum. Terlebih terhadap subjek-subjek khusus, seperti anak, perempuan, kelompok rentan, dan masyarakat adat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FILSAFAT ILMU (2)

Review Jurnal Filsafat Ilmu